Kehadiran sosok seorang guru bagaikan sebuah oase di tengah
gersangnya gurun sahara. Ia hadir memberikan kesejukan, membawa harapan, bukan
menawarkan fatamorgana. Masih segar dalam ingatan kita kejatuhan Jepang ketika
Hiroshima dan Nagasaki dilumpuhkan oleh Amerika. Jutaan orang menjadi korban.
Belum lagi efek radiasi bom yang butuh waktu puluhan tahun untuk
menghilangkannya. Namun di tengah keadaan terpuruk itu pula, berdirilah sorang
Kaisar Hirohito sembari bertanya kepada para jendral yang masih hidup, “Berapa
jumlah guru yang tersisa?”.
Pertanyaan Sang Kaisar bukan tanpa alasan. Ia paham betul
keterpurukan bangsanya kala itu. Mereka kuat dalam persenjataan dan strategi
perang, namun pengetahuan mereka terbatas dalam hal merakit bom. “Kalau kita
tidak belajar, bagaimana mungkin kita bisa mengejar mereka?” ujar Sang Kaisar.
Akhirnya dikumpulkanlah para guru karena ia tahu bahwa saat ini kepada
merekalah tumpuan harapan terakhir bangsa ini.
Mereka tidak pernah mengerahkan massa untuk menuntut diberi gelar
kehormatan sebagai pahlawan. Tapi mereka tampil di garda terdepan dalam
peperangan sebagai seorang pahlawan sejati.
Berperang melawan ketidaktahuan. Dengan ikhlas mengajar tanpa tanda jasa yang tersematkan.
Berperang tapi tak berdarah, namun mampu membawa kabar kemerdekaan. Merdeka
dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan.
Namun belakangan ini, Sosok pahlawan mulai mengalami degradasi
makna, baik secara harfiah apalagi maknawi. Sosok Pahlawan bukan lagi diartikan
sebagai seorang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran.
Setiap orang mendefinisikan menurut versi masing-masing sesuai kepentingan
mereka. Bagi orang yang ketika ditanya who is your God? My God is money, mungkin
akan mendefinisikan pahlawan itu adalah sosok yang bisa menambah pundi-pundi
kekayaan mereka. Bagi media, pahlawan mereka definisikan sebagai sosok yang bisa
menambah rating mereka. Tak peduli walaupun sosok pahlawan versi mereka malah
merusak moral generasi emas bangsa ini. Namun itulah potret definisi pahlawan
saat ini. Yang mendidik malah diabaikan, yang merusak malah dielu-elukan.
Sudah saatnya kita mengembalikan tanda jasa yang tertukar ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tau cara mengahargai pahlawannya, dan itulah
yang ditunjukkan seorang Hirohito kepada para jendralnya. Alhasil, Jepang tak
salah kala itu menaruh tumpuannya pada sang pahlawan tanpa tanda jasa itu. Dari
bangsa yang luluh lantah menjadi bangsa yang diperhitungkan eksistensinya.
Bangsaku,
tanda jasa itu tertukar. Sadarlah!
0 Komentar