Tak
terasa, waktu berlalu demikian cepat. Makanan yang dihidangkan belum tuntas
terlahap, karena terbuai dengan alunan musik dan suara merdu sang pengamen.
Hujanpun mulai memanggil pasukannya, seakan-akan mereka sudah membuat janji
untuk turun bergerombolan ke bumi. Ku ambil mantel dari jok motorku, mulai
menyalakan mesin dan meninggalkan hidangan serta hiruk pikuk suasana warung.
Di
perjalanan, aku mulai merenung sejenak. Lama kelamaan air mataku mulai mengalir
membasahi pipi, namun tersamarkan dengan aliran air hujan yang kebetulan searah
melewati jalur yang sama di wajahku. “Apakah mungkin respon tuhan terhadap doa
kita seperti kejadian di warung tadi?”, gumamku dalam hati. Mulai kurasakan
doa-doaku yang sepertinya mulai terjawab akhir-akhir ini, kemudian kukaitkan
dengan respon pelanggan terhadap pengamen pertama di warung tadi. Kita
memberikannya upah sekedarnya, agar dia segera angkat kaki dari hadapan kita.
Mungkinkah selama ini doa kita yang asal-asalan namun terkesan dikabulkan oleh
tuhan itu sesuai dengan analogi di atas? Tuhan sepertinya muak melihat kita
yang datang sekedarnya dan hanya ketika memiliki kebutuhan yang harus terealisasikan.
Tuhan sepertinya enggan melihat kita berlama-lama menyebut namanya karena tahu
isi hati kita yang tidak ikhlas memujinya. Akhirnya memang itu yang kurasakan
selama ini, setelah merasa doaku terkabulkan, malah jarak antara aku dengan
sang pemberi hajat semakin jauh, bahkan mungkin amnesia melanda diri ini hingga
suatu saat akan kembali dengan hajat bertumpuk yang menuntut perealisasian.
Beda
halnya dengan orang yang sudah bersimpuh lama memuji kebesaran-NYA, seakan
doanya lama diijabah, bisa jadi analogi yang kedua mengenai respon pelanggan
terhadap pengamen yang kedua tadi yang cocok dengan kasus ini. Kita menahan
sang pengamen agar menghibur diri ini lebih lama lagi, karena kita merasakan
kenikmatan batin, terhibur secara lahiriah maupun batiniyah. Namun dampaknya,
upah yang lebih besarpun seakan tak mengapa diberikan kepada sang pengamen
tersebut. Tuhan pun mungkin demikian, Dia menikmati pujian hambanya sehingga
merasa perlu untuk menunda respon terhadap doa hambanya tersebut. Namun sekali
doa itu direspon oleh-NYA, maka tak sungkan lidah kita akan berucap, “Nikmat
tuhanmu yang mana lagikah yang ingin engkau dustakan”.
Oleh: Muhammad Fajar
0 Komentar