“Antara serius dan sekedarnya (2)”



Tak terasa, waktu berlalu demikian cepat. Makanan yang dihidangkan belum tuntas terlahap, karena terbuai dengan alunan musik dan suara merdu sang pengamen. Hujanpun mulai memanggil pasukannya, seakan-akan mereka sudah membuat janji untuk turun bergerombolan ke bumi. Ku ambil mantel dari jok motorku, mulai menyalakan mesin dan meninggalkan hidangan serta hiruk pikuk suasana warung.

Di perjalanan, aku mulai merenung sejenak. Lama kelamaan air mataku mulai mengalir membasahi pipi, namun tersamarkan dengan aliran air hujan yang kebetulan searah melewati jalur yang sama di wajahku. “Apakah mungkin respon tuhan terhadap doa kita seperti kejadian di warung tadi?”, gumamku dalam hati. Mulai kurasakan doa-doaku yang sepertinya mulai terjawab akhir-akhir ini, kemudian kukaitkan dengan respon pelanggan terhadap pengamen pertama di warung tadi. Kita memberikannya upah sekedarnya, agar dia segera angkat kaki dari hadapan kita. Mungkinkah selama ini doa kita yang asal-asalan namun terkesan dikabulkan oleh tuhan itu sesuai dengan analogi di atas? Tuhan sepertinya muak melihat kita yang datang sekedarnya dan hanya ketika memiliki kebutuhan yang harus terealisasikan. Tuhan sepertinya enggan melihat kita berlama-lama menyebut namanya karena tahu isi hati kita yang tidak ikhlas memujinya. Akhirnya memang itu yang kurasakan selama ini, setelah merasa doaku terkabulkan, malah jarak antara aku dengan sang pemberi hajat semakin jauh, bahkan mungkin amnesia melanda diri ini hingga suatu saat akan kembali dengan hajat bertumpuk yang menuntut perealisasian.

Beda halnya dengan orang yang sudah bersimpuh lama memuji kebesaran-NYA, seakan doanya lama diijabah, bisa jadi analogi yang kedua mengenai respon pelanggan terhadap pengamen yang kedua tadi yang cocok dengan kasus ini. Kita menahan sang pengamen agar menghibur diri ini lebih lama lagi, karena kita merasakan kenikmatan batin, terhibur secara lahiriah maupun batiniyah. Namun dampaknya, upah yang lebih besarpun seakan tak mengapa diberikan kepada sang pengamen tersebut. Tuhan pun mungkin demikian, Dia menikmati pujian hambanya sehingga merasa perlu untuk menunda respon terhadap doa hambanya tersebut. Namun sekali doa itu direspon oleh-NYA, maka tak sungkan lidah kita akan berucap, “Nikmat tuhanmu yang mana lagikah yang ingin engkau dustakan”. 

0 Komentar