Rabu, 20 September 2017, sinar mentari menyapaku dengan hangat.
Rutinitasku sebagai seorang mahasiswa membuatku terperangkap dalam perasaan “déjà
vu” berkepanjangan. Kucari
“simon”, teriak sana-sini hingga suaraku mengusik telinga kanan sang kakek,
“Oi” teriaknya pelan tapi kasar, “man,mon,man,mon, siapa lagi tuh?
motor gue beh,
“mana bisa nyahut somplak, lu kira transformer?”
Tek, sontak
ingatanku flash back 10 tahun silam, 28 Juni 2007, saat The Transformer
pertama kali rilis dalam bentuk real 3D. Kutatap simon dengan penuh
harap-harap cemas sambil bergumam dalam hati, “apakah mungkin dia bisa
bertransformasi menjadi robot?”
kapan bangsaku bisa berjalan sama tinggi, duduk sama rendah dengan
bangsa lain khususnya dalam hal inovasi?
pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang menganggap itu adalah
mimpi di siang bolong. Iya, selamanya akan menjadi mimpi bagi mereka yang hanya
bermimpi namun lupa bangun untuk mewujudkannya, namun sebuah keniscayaan bagi
mereka yang pandai berkolaborasi dengan inovasi.
Sekilas cuplikan cerita tadi hanyalah sebuah anekdot yang tak perlu
diulas lebih lanjut, namun belakangan otak ini agak sedikit kritis untuk
merespon dan akhirnya memberi rangsangan ke jemari ini untuk kembali menari di
atas keyboard, menuliskan sebuah kesimpulan bahwa bukankah begitu potret bangsa
kita saat ini? bangsa yang
konsumtif namun kaku dalam hal produktivitas, bangsa yang getol menyuarakan
semangat berinovasi namun karya yang
lahir dari tangan anak bangsa sepi apresiasi, bangsa yang hanya bisa bermimpi
namun lupa bangun untuk mewujudkannya? bangsa
yang hanya puas berprofesi sebagai end-user tanpa mau meng-upgrade
kualitas diri menjadi produsen? Bangsa
Indonesia gagal move on dari profesi
sebagai end-user. Namun, “bukan Bangsa Indonesia namanya jika
terus tunduk menahan malu, angkat wajahmu, rapatkan barisan, singsingkan lengan
bajumu, sejarah menuliskan bahwa ada sosok yang sangat dihormati di Jerman
sana, dan di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama dengan darah kita, dialah
Bacharuddin Jusuf habibie”. Begitulah semangat yang coba kubangun, bergumam di
dalam hati, di tengah badai perasaan putus asa terhadap bangsa ini.
Mr. Crack,
julukan yang melekat pada diri mantan presiden ketiga Indonesia ini berawal
dari rumus temuannya yang dapat menghitung crack progression sampai
skala atom material kontruksi pesawat terbang, rumus ini ia namakan “ Faktor
habibie”. Seperti biasa, sepi apresiasi kembali terjadi ketika sang maestro
pesawat terbang ini kembali ke Tanah Air untuk mengembangkan industri
kedirgantaraan Indonesia. Hal itu tercermin dari kutipan percakapan beliau
dengan Presiden Soeharto kala itu. “ Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang
500 juta Dollar dan N250 akan menjadi peswat yang terhebat yang mengalahkan
ATR, Bombardier, Dornier, dll dan kita tak perlu tergantung dengan Negara
manapun. Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16
ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi, kita yang beli
pesawat dari Negara mereka “, dikutip dari biografi B.J. Habibie.
Namun setidaknya kita masih bisa berbangga, karena Indonesia
memliki Habibie dan akan lahir
Habibie-Habibie selanjutnya yang akan menggulung tikar-tikar kebuntuan dan
logika sesat pikir para pemangku jabatan bangsa ini, kemudian menghamparkan
permadani-permadani intelektual yang penuh dengan inovasi, sehingga mengangkat
derajat bangsa ini dari julukan end-user menjadi bangsa yang produktif. Tidak apa kita mundur selangkah,
tapi jadikan sebagai ancang-ancang untuk melompat 1000 langkah kedepan. Saatnya
Indonesia move on!
Oleh: Muhammad Fajar
0 Komentar