“Candu Baks”, bikin kere(n) ?



A : Vroh, bagi baks dong ! lagi pusing nih.
B : Kagak ad vroh, gua aja ngutang. Wkwkwk

Demikianlah potongan diskusi ilmiah para mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah “nongkrong” 3 sks di salah satu kampus di belahan Jakarta Selatan sana. “Baks”, sebuah kata kunci yang kerap terngiang di telinga para agent of change (katanya), kata yang mereka adopsi dari kitab gaul antah barantah, mungkin agar naluri gaul itu meresap ke dalam jiwa mereka.

Di tengah kepulan asap rokok yang kerap mereka sebut “baks”, dengan fasih mereka membahas masa depan kehidupan mereka yang penuh dengan fatamorgana, sementara kehidupan mereka masih candu dengan kebudayaan barat yang diadopsi tanpa filter. Candu baks pun dijadikan sebuah life style agar terlihat kere(n), namun ternyata bikin kere.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi mengatakan bahwa Indonesia berada pada posisi memprihatinkan dalam hal konsumsi rokok. Hal itu bukan sekedar opini belaka, Tulus membeberkan sejumlah fakta yang mencengangkan dalam keterangan resminya, Senin, 30 Mei 2016, bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia menempati urutan ke-3 setelah China dan India, atau sekitar 29,3% dari populasi yang ada. Selain itu, menurut data BPS ditemukan fakta bahwa konsumsi rokok di Indonesia menempati posisi ke-2, yaitu 12,4% setelah konsumsi beras. Jika dikalkulasikan maka ditemukan angka Rp. 605 miliar, nominal yang cukup fantastis jika para pecandu baks ini bisa menahan sedikit hasratnya untuk puasa rokok dalam sehari . Dalam artian jika mereka manabung sebanyak Rp. 605 miliar per hari dikali setahun, maka sama dengan menghemat biaya sebesar Rp. 217 triliun, yang tentunya akan sangat bermanfaat jika digunakan untuk hal yang positif.


Bayangkan biaya yang dikeluarkan untuk merusak diri, jauh lebih besar dari biaya untuk merawat diri. Dengan dalih kekinian, nyawa pun menjadi taruhannya. Dengan dalih mendapatkan predikat “keren”, masa depan cerah pun dikorbankan. Keren atau bikin kere ?

0 Komentar