Ketika Apple dan Blackberry masih sekedar buah



Seperti biasa, hari ini tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Bangun pagi, sarapan, persiapan ke kampus, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat tidur. Satu hal yang membuat rutinitas itu seakan berwarna, smartphone.  Bukan rahasia lagi, jika gadget menjelma menjadi kebutuhan primer mengambil alih kedudukan sandang, pangan dan papan yang dahulu masih anteng bercokol di peringkat pertama kebutuhan manusia.  Namun bukan gadget namanya jika tidak membuat adiktif.

Ibarat pisau bermata dua, gadget pun memiliki sisi positif dan negatif yang memaksa penggunanya untuk bijak menarikan jemarinya di atas layar asesoris digital itu. Kita bisa menjadi miliarder dalam sekejap , jika kita lihai melihat peluang di era digital ini. Sebaliknya, kita bisa tersungkur jatuh sedalam-dalamnya akibat lalai dalam memanfaatkannya.

Namun terlepas dari semua hal itu, beberapa hari yang lalu saya sempat berselancar, di pantai? Bukan, tapi di dunia maya. Hukum kausalitas yang biasa kita rasakan ketika masih menjadi pelajar dahulu kala, yang ketika kita sudah merasakan masa sekolah yang panjang, maka kita akan rindu untuk merasakan indahnya masa libur, namun sebaliknya, ketika kita sudah jenuh dengan liburan, maka perasaan rindu untuk kembali mengenakan seragam formal biasanya akan berkecamuk di benak kita. Dan begitulah yang kita alami di era revolusi industri keempat ini. Di saat mata terus mengonsumsi berita-berita hoax, grup whatsapp dengan ribuan notif, silaturahim yang tak terjalin dengan sempurna karena dengan kecanggihan teknologi memungkinkan untuk sekedar hanya bertatapan dari jarak jauh, ditambah keluarga yang tak terurus karena disibukkan dengan media sosial yang semakin membuat penggunanya adiktif, rasanya ingin kembali lagi ke masa di mana apple dan blackberry  masih sekedar buah.

To be continued......

Oleh: Muhammad Fajar Suardi

0 Komentar